Oleh: Ust. Hidayat Rahman
(Anggota MPW PKS Banten)
"Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras" (Al Hadid 16)
pkspandeglang.or.id - Allah Swt yang Maha Agung, dengan sifat dan Rahman-Nya di dunia dan Rahim-Nya diakherat kelak, Ia begitu perhatian dan senantiasa mencurahkan cinta dan kasih-Nya tanpa batas, agar seluruh hamba-Nya dapat selamat bahagia lahiriyah dan bathiniyahnya untuk selamanya.
Kasih sayang itu mencakup keseluruhan hidup manusia dalam berbagai aspeknya, perbuatan syukur, itulah yang hanya pantas terefleksi dalam setiap jiwa manusia sebagai tanda merespon terhadap sejuta anugrah, nikmat dan karunia yang diturunkan-Nya. Subhanallah walhamdulillah, demikian desah yang selalu menghiasi jiwa-jiwa mutmainnah. Makna yang terkandung pada ayat tersebut ditas, mengisayaratkan, agar setiap muslim memiliki jiwa istiqomah ma’nawiyah dalam merespon setiap perintah dan larangan Allah, menumbuhkan kejujuran hati, untuk menerima tanpa reserve semua perintah Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang-Nya.
Imam Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan ayat tersebut bahwa manusia seharusnya selalu menjaga dan memelihara apa yang telah dibiasakan berupa kebaikan, beliau juga mengutip sebuah ayat dari surat An-nahl yang artinya :
"Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras" (Al Hadid 16)
pkspandeglang.or.id - Allah Swt yang Maha Agung, dengan sifat dan Rahman-Nya di dunia dan Rahim-Nya diakherat kelak, Ia begitu perhatian dan senantiasa mencurahkan cinta dan kasih-Nya tanpa batas, agar seluruh hamba-Nya dapat selamat bahagia lahiriyah dan bathiniyahnya untuk selamanya.
Kasih sayang itu mencakup keseluruhan hidup manusia dalam berbagai aspeknya, perbuatan syukur, itulah yang hanya pantas terefleksi dalam setiap jiwa manusia sebagai tanda merespon terhadap sejuta anugrah, nikmat dan karunia yang diturunkan-Nya. Subhanallah walhamdulillah, demikian desah yang selalu menghiasi jiwa-jiwa mutmainnah. Makna yang terkandung pada ayat tersebut ditas, mengisayaratkan, agar setiap muslim memiliki jiwa istiqomah ma’nawiyah dalam merespon setiap perintah dan larangan Allah, menumbuhkan kejujuran hati, untuk menerima tanpa reserve semua perintah Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang-Nya.
Imam Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan ayat tersebut bahwa manusia seharusnya selalu menjaga dan memelihara apa yang telah dibiasakan berupa kebaikan, beliau juga mengutip sebuah ayat dari surat An-nahl yang artinya :
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang nmenguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat , menjadi cerai berai kembali “ (An-nahl : 92)
Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam kitabnya Aisiru Tafsir likalami alal Kabir mengungkapkan, yang dimaksudkan dengan ayat tersebut, adalah ia berbuat kerusakan, berbuat sewenang-wenang setelah mengukuhkan kebenaran dan kebaikan pada dirinya, phenomena ini merupakan phenomena historis yang direkam Allah Swt, bahwa tak sedikit manusia dari generasi kegenarsi berikutnya yang menglamaki kecelakan baik kecelekaan terkait spiritual maupun mental yang berakibat fatal bagi generasi tersebut.
Cukuplah ayat tersebut menjadi bukti dan dapat diambil ibrotul kubro bagi generasi manusia berikutnya, bahwa kecenderungan bersikap seperti itu harus senantiasa dicarikan jalan penyelesaiannya, sehingga tidak menimpa generasi berikutnya. Abu Bakar Jabir Al Jazairi memberikan solusi terhadap maslah tersebut dengan landasan qur”ani dinataranya melalui ayat-ayat berikutnya dalam surat An-nahl.
1. Berbuat Adil dan Ikhsan
Berbuat adil yang dimaksudkan adalah sebagai mana ungkapan Al”qur’an “ Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk berlaku adil “ ( Q.S. An-Nahl : 90) perbuatan adil ini dalam bentuk yang integral sebagaimana yang dituntut syari’ berupa perintah Allah yakni insyaf menyadari dengan penuh kesadaran termasuk komitmin dalam berpegang teguh pada tauhidullah, mengesakan Allah menjunjung tinggi panji dan syi’ar Allah karena hanya Dialah pencipta dan pemberi anugrah segala karunia dan nikmat sehingga kewajaran itu begitu mulia dan wajar ketika seorang hamba berucap “ Lailaha illallah “. Allah Swt berfirman :
“ Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah Berbuatlah ( ketika ) menjaadi saksi dengan adil dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum , mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,. Berlaku adilah, karena berlaku adil itu lebih dekat kepada taqwa… “ (Q.S. Al Maidah : 8)
Adil ini merupakan prinsip dasar kehidupan muslim dan merupakan bentuk manipestasi al khairat. Disaat seorang hamba berlaku adil terhadap tuhannya, ia marifah akan eksisitensi Tuhannya, maka secara otomatis ia juga akan berlaku adil terhadap dirinya, yakni menempatkan diri peribadi pada tempat yang baik dan benar. Diri kita haerus senantiasa terpelihara dan terjaga dalam kebaikan selalu dan keselamatan, jauh dari penganiyayaan diri sendiri dengan memenuhi tuntutan hawa nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri sendiri. Begitupun jiks is telah berlaku adil pada Allah dan dirinya, maka ia pasti akan mampu berbuat adil pada orang lain yakni dengan menempatkan orang lain pada tempat dan prilahu yang sesuai demikian indah kebaikan itu karenanya, tak ada pahala kebaiakan selain kebaikan yang akan dicurahkan Allah (Q.S. Arrahman).
Selain prilaku adil yang merupakan tuntutan syar’I sebagai solusi agar setiap jiwa senantiasa istiqomah dalam berpegang teguh pada kebenaran adalah bekerja dengan “ Ikhsan “. Ikhsan berarti seseorang mampu mengaplikasikan seluruh kewajiban yang di embankan Allah kepadanya serta mampu menjahui segala apa yang dilarang Allah, ia memiliki sifat merasa diawasi Allah dalam keseluruhan perilakunya (murokobatullah ) , rapih dalam kerja dan ibadahnya ( itsqonul amal ) seluruh pengabdian dan kehidupannya senantiasa berada dalam landasan takut ( khoup ) pada Allah Rabbul Jalil. Sehingga ketika seseorang berbuat adil dan ikhsan, maka ia akan bertahan dalam kebenaran meski berbagai godaan dunia dating silih berganti.
2. Berbuat baik pada kerabat
Merupakan refleksi dari kekuatan iman dan amal shalih seorang muslim adalah berbuat kebaikan dalam berbagai aspek, termasuk dalam hubungan social, diantara perbuatan baik itu adalah menjalin hubungan yang baik dengan kerabat, sebagaimana yang diperintahkan Allah “dan memberi bantuan kepada kerabat …“ ( Q.S. An-Nahl : 90). Abu Bakar Ja’ir maksud berbuat baik pada kerabat adalah, senantiasa memenuhi hak-hak mereka dengan senantiasa berbuat kebaikan kepada mereka serta memelihara hubungan yang kuat dalam kekerabatan, dan ini merupakan bentuk takorub kepada Allah menjalankan perintahnya sebagaimana yang dituntut Al-qur’an.Konunikasi yang baik terhadap kerabat atau bainal ikhwah, bukan hanya bentuk amaliayah ibadah, melainkan juga memiliki pengaruh (itsar) yang sangat positif sebagai bentuk ubudiyah dalam bentuk hablum minannas (Al muallakotul Ijtimaiyah) yang akan berdampak baik pada kehidupannya setidaknya ada pergaulan dan pergeseran, sehingga terjadi interaksi yang indah dalam bingkai ukhuwah dan terjalin prinsip watawa shoubil haqqi tawa tsaubishobr, dengan pememnuhan budaya ini, maka jiwa istiqomah akan senantiasa terjaga dan terhindar dari budaya munafiq.
3. Selalu melakukan Muhasabah
Prinsip terakhir agar setiap muslim tetap istiqomah dalam menjalankan kebajikan, adallah selalu melakukan Muhasabah.Kebiasaan memantau hati dapat mengantisipasi kesalahan sedini mungkin, kemudian ia akan mampu segera memulihkannya kembali melakukan kebaikan, aktifitas mukhasabah ini merupakan perintah Allah dengan tujuan agar setiap jiwa memiliki jiwa istiqomah dan terhindar dari penyakit yang menghancurkannya. Firman Allah.
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan “ (Q.S. Al Hujrat : 18)
Sa’id Hawa dalam kitabnya Tazkiyatun Nafs, hakekat muhasabah adalah seorang hamba sebagaimana ia punya waktu dipagi hari untuk menetapkan syarat terhadap dirinya berupa wasiat untuk menepati kebenaran , maka demikian pula hendaknya ia memiliki waktu di sore hari untuk menuntut dirinya dan menghisabnya atas semua gerak dan diamnya.Wallahu a’lam semoga Allah menjadikan kita orang yang senanatiasa istiqomah.
Refferensi
1. Al Qur’an dan Terjemahnya “Syamil Al Qur’an “ Lajnah pentaskhihan Mushaf Al-qur’an Depag RI Jakarta 2007
2. AL Ust Sa’id Hawa “ Manhaj Tazkiyah An-Nfs “ Robbani Pres Jakarta 1998
3. Abu Bakar Jabir Al Jaza’ir “ Aisiruttafsir Lil kalam Alal Kabir “ Juz 1 “ Penerbit Darul Hadits 2006.