Kampanye Digital



Persis di isu strategis keempat ini, dari lima isu strategis yang bisa dieksploitasi untuk mengejar target 15% suara nasional, dalam sebuah perhelatan yang dihadiri para anggota legislatif asal PKS sekira dua bulan silam, moderator acara meminta hadirin mengacungkan tangan bagi yang sudah memiliki akun media sosial.

Sepemantauan penulis yang saat itu didapuk sebagai narasumber dari mimbar, tak sampai separuh dari sekitar dua ratusan peserta mengacungkan tangan mengaku memiliki akun media sosial. Lalu kepada para pengacung ini, moderator bertanya lebih lanjut siapa yang aktif di media sosial. Hasilnya, sepertiga saja yang bertahan mengacungkan tangannya.

Tentu saja, itu fakta tak elok di tengah arus besar penggunaan media sosial di negeri ini. Mengapa tak elok? Data berbicara. Pengguna handphone di Indonesia ada 345,3 juta, 125.6% dari total jumlah penduduk Indonesia yang 274.9 juta. Pengguna internet sebanyak 202.6 juta (73.7% dari total jumlah penduduk). Kemudian ada 170.0 juta yang aktif menggunakan media sosial, jumlah ini setara dengan 61.8% dari total jumlah penduduk. Ini data versi We Are Social, sebuah agensi media sosial global yang bermarkas di Singapura, yang dirilis pada Januari 2021 silam.

Walhasil, masyarakat digital Indonesia terpampang di hadapan. Masyarakat Indonesia yang amat friendly dengan media sosial itu, hadir di zaman yang disebut “Era disrupsi”. Macam rupanya antara lain Internet on Things (internet untuk segala sesuatu), Artificial Intelligence atau AI (kecerdasan buatan), Big Data. Di bidang politik, telinga kita kini kian akrab dengan istilah demokrasi digital, demokrasi di tangan netizen, e-voting, dan lain-lain.

Rilis We Are Social itu adalah data kuantitatif yang menunjukkan betapa jumbonya pengguna media sosial di republik ini. Namun ada satu hal yang tak bisa diabaikan adalah mereka itu dewasa ini beraktivitas di dunia maya dalam lingkup pandemi Covid-19. Dampak pandemi ini merubah banyak hal dari aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, tak terkecuali bidang politik. Antara lain, pelbagai jenis kampanye yang mengundang kerumunan massa tak diizinkan semisal kampanye di ruang terbuka, konvoi, aksi sosial, dan lain-lain. Di titik ini, merambah dunia maya menjadi alternatif pilihan yang niscaya untuk meraih simpati publik.

Lalu mari sekali lagi kita bersetia pada data hasil survei, sebagai salah satu ikhtiar untuk menggapai target 15% suara nasional. Dan saat bersamaan tidak pula bergerak di ranah politik dengan menggunakan model management by feeling. Pijakannya adalah data hasil survei AKSES School of Research di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Banten beberapa waktu lalu, masih di tahun ini. Operasi geledah opini publik dengan menjaring 1.200 responden di setiap provinsi itu bertajuk Survei Peta Politik dan Perilaku Pemilih Pemilu 2024, menggunakan metode Multistage Random Sampling.

Survei di empat provinsi itu mengkonfirmasikan bahwa salah satu sumber berita utama tentang pemilu yang signifikan dipilih responden adalah media sosial. Di Jawa Timur ada 16.9% yang memilih media sosial, di bawah pilihan ngobrol dengan warga (tetangga, teman, keluarga, dll) yang dipilih oleh 39,9% responden. Di Jawa Tengah, media sosial dipilih oleh 15.5% responden, juga posisinya di bawah persis ngobrol dengan warga yang sebesar 30.0%. Di DI Yogyakarta mayoritas responden memilih mengobrol dengan warga sebagai sumber berita utama tentang Pemilu (25,2%), berikutnya media sosial oleh 18.6% responden. Di Banten malahan ada 23.1% responden yang memilih media sosial, kemudian ngobrol dengan warga sebanyak 20.7%.

Lantas, berikut ini temuan penting yang tak bisa diabaikan juga jika memang serius meraup 15% suara nasional. Rata-rata separuh responden menilai penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye, maksudnya Kampanye Digital, berpengaruh terhadap pilihan politik mereka. Di Jawa Timur, separuh lebih responden menilai penggunaan media sosial berpengaruh terhadap pilihan politik mereka (53,0%). Hampir separuh responden di Jawa Tengah menilai media sosial berpengaruh (47.2%). Di DI Yogyakarta ada separuh lebih responden menilai penggunaan media sosial berpengaruh terhadap pilihan politik (56,6%). Di Banten, angkanya lebih tinggi lagi yakni 68.0%.

Responden juga ternyata cukup menggandrungi model Kampanye Digital, tatkala ditanyakan apakah anda suka atau tidak suka dengan model kampanye tersebut.

Jadi, di zaman kiwari ini kampanye digital adalah isu strategis. Artinya, pengurus, anggota, dan kader PKS “wajib” hukumnya punya akun media sosial dan “wajib” aktif pula. Dua kewajiban itu ditautkan ke platform media sosial apakah? Survei AKSES School of Research itu menempatkan Facebook, YouTube, dan Instagram sebagai platform media sosial yang paling disukai dalam kampanye digital.

Berikut sebaran prosentase pilihan jawaban responden dalam konteks platform media sosial yang paling disukai: Jawa Timur (Facebook 36.2%, YouTube 33.2%, dan Instagram 17.2%), Jawa Tengah (Facebook 32,7%, YouTube 29,1%, dan Instagram 16,8%), DI Yogyakarta (YouTube 36,9%, Facebook 29,7%, dan Instagram 14,6%), dan Banten (Facebook 41.3%, YouTube 20.4%, dan Instagram 18.2%). Adapun platform media sosia lain, seperti Line, Twitter, WhatsApp, dan Telegram, jauh di bawah tiga besar itu.

Akhirnya selamat berselancar di dunia maya, memburu sebanyak-banyaknya viewer, beroleh sebanyak-banyaknya Like, serta meraih sebanyak-banyaknya follower. Jadilah bintang di langit media sosial, namun -jangan lupa- tetap pula berpijak di bumi. 

 

Kamarudin, founder AKSES School of Research

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama